Selasa, 25 Maret 2008

r.e.s.t.u

Habis gagal seharian ketemu dosen yang membuat kepala pusing, saya dapat telepon dari seorang teman. Sahabat waktu SMA dulu. Orang yang rumahnya sering jadi nongkrong dulu.

Dia mengajak ketemuan, katanya lagi mau bicara. Sebenarnya lagi tidak mau keluar. Maklum, kena penyakit sinetron, bad mood karena dosen Hitler. Nada bicaranya yang memelas membuat saya setengah terpaksa mengiayakan. Siapa tau juga bisa jadi bahan ketawaan untuk mengusir stress.

Sampai disana ternyata dia sudah menunggu. Tapi dia terlihat aneh. Raut wajahnya terlihat sangat serius, tidak seperti biasanya. Nostalgia SMA pun terjadi. Bicara tentang kegilaan waktu SMA. Mulai dari bolos pelajaran, manjat pagar karena terlambat, berkelahi dengan kakak kelas, sampai menghadiahi cecak mati buat guru Matematika di hari kasih sayang yang semuanya dilakukan atas nama pencarian jati diri.


Lama kelamaan pembicaraan pun jadi makin ngelantur. Sampai di suasana hening teman lama

itu bicara dengan nada sangat serius. “Saya mau menikah,” katanya. Tidak sadar saya pun

berteriak “Wah berita bagus. Selamat,” kata ku sambil memukul bahunya.

Tapi ekspresinya mengisaratkan sebuah masalah dengan kata yang baru di ucapkannya.

Setelah kembali diam, dia bercerita. “Kami mau tapi orang tuanya tidak setuju. Uang saya tidak

cukup untuk mendapat restu orang tuanya,” keluhnya.


Rasa sakitnya yang terpenjara mulai mengalir dengan hardikan dan umpatan. Penuh emosional. Katanya dia diwajibkan untuk memenuhi beberapa syarat. Mulai dari uang lima puluh juta yang harus disediakan sebagai tanda jadi, beberapa buah mahar tambahan, dan tentu saja perhiasan emas bergram-gram.

“Restu orangtuanya sangat mahal untuk orang yang cuma bekerja sebagai karyawan biasa kayak saya,” gerutunya dengan nada emosional. “Apakah semuanya harus diukur dengan materi.”

Dia pun tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Tiga bulan masa jatuh tempo dari calon mertua pun tidak mungkin lagi bisa ditepatinya untuk memenuhi persyaratan yang diminta. Pacarnya pun hanya bisa pasrah dengan itu. Kedunya sudah frustasi terhadapan aturan konyol dan gila yang masih dianut orang tua sang pacar.


Saya hanya diam. Dibaluti ketakutan dan kecemasan tentang mahalnya nilai restu yang seolah mengikuti nilai tukar dolar terhadap rupiah. Saya hanya diam sambil berfikir tentang pencetus ide gila ini.

Penasaran dengan kejadian itu saya pun bertanya dengan emak saya tentang tata cara pernikahan yang dianut kaum Bugis-Makassar. Dan intinya keseluruhan itu hanya untuk melihat kesungguhan calon laki-laki sebelum jadi bagian keluarga!!!!!!

Kesungguhan harus diukur dengan modal materi? Kalo begitu pernikahan hanya buat orang kaya!!

f*#k rule’s, f*#k rule’s, f*#k rule’s, f*#k rule’s, f*#k rule’s!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Bukankah ada ajaran yang meminta kita untuk menyegerakan menikah untuk menyempurnakan sebagian agama. Bukan kah ada komentar orang suci yang mengajarkan kita agar mahar disesuaikan dengan kemampuan pria. Bukan kah berlebih-lebihan merupakan teman dari iblis.

“Apa yang harus saya perbuat untuk bisa memenuhi syarat itu? Haruskah saya berutang. Jadi pencuri atau apa?” tanyanya.

Saya hanya bisa diam untuk kembali merenung dan meratapi nasib. Memikkirkan kemungkinan akan menjadi jejaka selamanya, seperti putusan yang diambil sang teman lama.

Gilaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……………………………………………!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates